Mengatakan
kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng memang perlu keberanian yang
tinggi, sebab resikonya besar. Bisa-bisa akan kehilangan kebebasan,
mendekam dalam penjara, bahkan lebih jauh lagi dari itu, nyawa bisa
melayang. Karena itu, tidaklah mengherankan ketika pada suatu saat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya oleh seorang sahabat
perihal perjuangan apa yang paling utama, maka Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam pun menjawab, "Mengatakan kebenaran kepada penguasa
yang menyeleweng."
Demikian
sabda Tasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang
dikisahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i, Abu
Daud, dan Tirmidzi, berdasarkan penuturan Abu Sa'id al-Khudry
Radhiyallahu 'anhu, dan Abu Abdillah Thariq bin Syihab al-Bajily
al-Ahnasyi. Oleh sebab itu, sedikit sekali orang yang berani
melakukannya, yakni mengatakan kebenaran kepada penguasa yang
menyeleweng.
Di
antara yang sedikit itu (orang yang pemberani) terdapatlah nama Thawus
al-Yamani. Ia adalah seorang tabi'in, yakni generasi yang hidup setelah
para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bertemu dengan mereka
dan belajar dari mereka. Dikisahkan, suatu ketika Hisyam bin Abdul
Malik, seorang khalifah dari Bani Umayyah, melakukan perjalanan ke Mekah
guna melaksanakan ibadah haji. Di saat itu beliau meminta agar
dipertemukan dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam yang hidup. Namun sayang, ternyata ketika itu tak
seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang masih
hidup. Semua sudah wafat. Sebagai gantinya, beliau pun meminta agar
dipertemukan dengan seorang tabi'in.
Datanglah
Thawus al-Yamani menghadap sebagai wakil dari para tabi'in. Ketika
menghadap, Thawus al-Yamani menanggalkan alas kakinya persis ketika akan
menginjak permadani yang dibentangkan di hadapan khalifah. Kemudia ia
langsung saja nyelonong masuk ke dalam tanpa mengucapkan salam
perhormatan pada khalifah yang tengah duduk menanti kedatangannya.
Thawus al-Yamani hanya mengucapkan salam biasa saja, "Assalamu'alaikum,"
langsung duduk di samping khalifah seraya bertanya, "Bagaimanakah
keadaanmu, wahai Hisyam?"
Melihat
perilaku Thawus seperti itu, khalifah merasa tersinggung. Beliau murka
bukan main. Hampir saja beliau memerintahkan kepada para pengawalnya
untuk membunuh Thawus. Melihat gelagat yang demikian, buru-buru Thawus
berkata, "Ingat, Anda berada dalam wilayah haramullah dan haramurasulihi
(tanah suci Allah dan tanah suci Rasul-Nya). Karena itu, demi tempat
yang mulia ini, Anda tidak diperkenankan melakukan perbuatan buruk
seperti itu!"
"Lalu apa maksudmu melakukakan semua ini?" tanya khalifah.
"Apa yang aku lakukan?" Thawus balik bertanya.
Dengan
geram khalifah pun berkata, "Kamu tanggalkan alas kaki persis di depan
permadaniku. Kamu masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan kepadaku
sebagai khalifah, dan juga tidak mencium tanganku. Lalu, kamu juga
memanggilku hanya dengan nama kecilku, tanpa gelar dan kun-yahku. Dan,
sudah begitu, kamu berani pula duduk di sampingku tanpa seizinku. Apakah
semua itu bukan penghinaan terhadapku?"
"Wahai
Hisyam!" jawab Thawus, "Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga
menanggalkannya lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah
'Azza wa Jalla. Dia tidak marah, apalagi murka kepadaku lantaran itu."
"Aku
tidak mencium tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali
Radhiyallahu 'anhu pernah berkata bahwa seorang tidak boleh mencium
tangan orang lain, kecuali tangan istrinya karena syahwat atau tangan
anak-anaknya karena kasih sayang."
"Aku
tidak mengucapkan salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan
kata-kata amiirul mukminin lantaran tidak semua rela dengan
kepemimpinanmu; karenanya aku enggan untuk berbohong."
"Aku
tidak memanggilmu dengan sebutan gelar kebesaran dan kun-yah lantaran
Allah memanggil para kekasih-Nya di dalam Alquran hanya dengan sebutan
nama semata, seperti ya Daud, ya Yahya, ya 'Isa; dan memanggil
musuh-musuh-Nya dengan sebutan kun-yah seperti Abu Lahab...."
"Aku
duduk persis di sampingmu lantaran kudengar Amiirul Mukminin Ali
Radhiyallahu 'anhu pernah berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni
neraka, maka lihatlah orang yang duduk sementara orang di sekitarnya
tegak berdiri."
Mendengar
jawaban Thawus yang panjang lebar itu, dan juga kebenaran yang
terkandung di dalamnya, khalifah pun tafakkur karenanya. Lalu ia
berkata, "Benar sekali apa yang Anda katakan itu. Nah, sekarang berilah
aku nasehat sehubungan dengan kedudukan ini!" "Kudengar Amiirul Mukminin
Ali Radhiyallahu 'anhu berkata dalam sebuah nasehatnya," jawab Thawus,
"Sesungguhnya dalam api neraka itu ada ular-ular berbisa dan
kalajengking raksasa yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil
terhadap rakyatnya."
Mendengar
jawaban dan nasehat Thawus seperti itu, khalifah hanya terdiam, tak
mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menyadari bahwa menjadi seorang
pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana serta tidak boleh
meninggalkan nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyatnya. Setelah
berbincang-bincang beberapa lamanya perihal masalah-masalah yang penting
yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus al-Yamani pun meminta diri.
Khalifah pun memperkenankannya dengan segala hormat dan lega dengan
nasehat-nasehatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar