Jumat, 17 Agustus 2012

Agama :Kisah Tukang Sol sepatu yang mendapatkan pahala Haji Mabrur

Ada beberapa Hikmah yang dapat kita ambil dari cerita dibawah ini, yaitu tentang Tukang Sol sepatu yang mendapatkan pahala Haji Mabrur, mari kita simak cerita berikut ini dan semoga bisa menjadikan kita terpacu untuk lebih giat beramal ibadah.
Sa’id Ibnu Muhafah, Tukang Sol sepatu yang mendapatkan pahala haji mabrur, padahal ia tidak haji, suatu ketika Hasan Al-Basyri menunaikan ibadah haji. Ketika beliau sedang istirahat, beliau bermimpi. Dalam mimpinya beliau melihat dua Malaikat sedang membicarakan sesuatu.
“Rasannya orang yang menunaikan haji tahun ini, banyak sekali” Komentar salah satu Malaikat
“Betul” Jawab yang lainya.
“Berapa kira-kira jumlah keseluruhan?”
“Tujuh ratus ribu”
“Pantas”
“Eh, kamu tahu nggak, dari jumlah tersebut berapa kira-kira yang mabrur”,
Selidik Malaikat yang mengetahui jumlah orang-orang haji tahun itu.
“Wah, itu sih kehendak Allah”
“Dari jumlah itu, tak satupun yang mendapatkan haji Mabrur”
“Kenapa?”
“Macam-macam, ada yang karena riya', ada yang tetangganya lebih memerlukan uang tapi tidak dibantu dan dia malah haji, ada yang hajinya sudah berkali kali, sementara masih banyak orang yang tidak mampu, dan berbagai sebab lainnya
“Terus?”
“Tapi Masih ada, orang yang mendapatkan Pahala haji mabrur tahun ini”
“Lho kata nya tidak ada”
“Ya, karena orangnya tidak naik haji”
“Kok bisa”
“Begitulah”
“Siapa orang tersebut?”
Sa’id bin Muhafah, tukang sol sepatu di kota Damsyiq
Mendengar ucapan itu, Hasan Al-Basyri langsung terbangun. Sepulang dari Makkah, ia tidak langsung ke Mesir, Tapi langsung menuju kota Damsyiq (Siria). Sesampai disana ia langsung mencari tukang sol sepatu yang disebut Malaikat dalam mimpinya. Hampir semua tukang sol sepatu ditanya, apa memang ada tukang sol sepatu yang namanya Sa’id bin Muhafah.
“Ada, ditepi kota” Jawab salah seorang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya. Sesampai disana Hasan Al-Basyri menemukan tukang sepatu yang berpakaian lusuh,
“Benarkah anda bernama Sa’id bin Muhafah?” tanya Hasan Al-Basyri
“Betul, kenapa?”
Sejenak Hasan Al-Basyri kebingungan, dari mana ia memulai pertanyaanya, akhirnya iapun menceritakan perihal mimpinya. 
“Sekarang saya tanya, adakah sesuatu yang telah anda perbuat, sehingga anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur, barang kali mimpi itu benar” selidik Hasan Al-Basyri sambil mengakhiri ceritanya.
“Saya sendiri tidak tahu, yang pasti sejak puluhan tahun yang lalu saya memang sangat rindu Makkah, untuk menunaikan ibadah haji. Mulai saat itu setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya, sebagai tukang sol sepatu. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan. Dan pada tahun ini biaya itu sebenarnya telah terkumpul”
“Tapi anda tidak berangkat Haji??”
“Benar”
“Kenapa?”
“Waktu saya hendak berangkat ternyata istri saya hamil, dan saat itu dia ngidam berat”
“Terus?”
“Ngidamnya aneh, saya disuruh membelikan daging yang dia cium, saya cari sumber daging itu, ternyata berasal dari gubug yang hampir runtuh, disitu ada seorang janda dan enam anaknya. Saya bilang padanya bahwa istri saya ingin daging yang ia masak, meskipun secuil. Ia bilang tidak boleh, hingga saya bilang bahwa dijual berapapun akan saya beli, dia tetap mengelak.
Akhirnya saya tanya kenapa?.. “daging ini halal untuk kami dan haram untuk tuan” katanya
“Kenapa?” tanyaku lagi ,
“Karena daging ini adalah bangkai keledai, bagi kami daging ini adalah halal, karena andai kami tak memakanya tentulah kami akan mati kelaparan,”
Jawabnya sambil menahan air mata.
Mendengar ucapan tersebut spontan saya menangis, lalu saya pulang, saya ceritakan kejadian itu pada istri saya, diapun menangis, akhirnya uang bekal hajiku kuberikan semuanya untuk dia”
Mendengar cerita tersebut Hasan Al-Basyri pun tak bisa menahan air mata.”Kalau begitu engkau memang patut mendapatkanya” Ucapnya.
Cerita atau Kisah ini diceritakan oleh Imam dan Khotib Masjid Rohmah, Cairo Egypt.
Dan untuk Shahih tidaknya tidak disebutkan. Meski demikian kisah ini perlu menjadi bahan perenungan untuk kita semua untuk lebih peduli terhadap sesama dan menjadikan bahan Hikmah diantara Hikmah.

Agama : Abdul Qadir dan Perampok



Setelah menginjak masa remaja, Abdul Qadir pun minta izin pada sang ibu untuk pergi menuntut ilmu. Dengan beat hati sang Ibu mengizinkannya. Oleh sang ibu, ia dibekali sejumlah uang yang tidak sedikit, dengan disertai pesan agar ia tetap menjaga kejujurannya, jangan sekali-sekali berbohong pada siapapun. Maka, berangkatlah Abdul Qadir muda untuk memulai pencarian ilmunya.
Namun ketika perjalanannya hampir sampai di daerah Hamadan, tiba-tiba kafilah yang ditumpanginya diserbu oleh segerombolan perampok hingga kocar-kacir. Salah seorang perampok menghampiri Abdul Qadir, dan bertanya,
“Apa yang engkau punya?”

Abdul Qadir pun menjawab dengan terus terang bahwa ia mempunyai sejumlah uang di dalam kantong bajunya. Perampok itu seakan-akan tidak percaya dengan kejujuran Abdul Qadir. Bagaimana mungkin ada orng engaku jika memiliki uang kepada perampok. Kemudian perampok itupun melapor pada pemimpinnya.
Sang pemimpin perampokpun segera menghampiri Abdul Qadir. Ia menggeledah baju Abdul Qadir. Ternyata benar, di balik bajunya itu memang ada sejumlah uang yang cukup banyak. Kepala perampokitu benar-benar dibuat seolah tidak percaya. Ia lalu berkata kepada Abdul Qadir,
“Kenapa kau tidak berbohong saja ketika ada kesempatan untuk itu?”
Maka Abdul Qadir pun menjawab, “Aku telah dipesan oleh ibundaku untuk selalu berkata jujur. Dan aku tak sedikitpun ingin mengecewakan beliau.”
Sejenak kepala rampok itu tertegun dengan jawaban Abdul Qadir, lalu berkata: “Sungguh engkau sangat berbakti pada ibumu, dan engkau pun bukan orang sembarangan.”
Kemudian kepalaperampok itu menyerahkan kembali uang itu pada Abdul Qadir dan melepaskannya pergi. Konon, sejak saat itu sang perampok menjadi insyaf dan membubarkan gerombolannya.

Agama : KISAH YU TIMAH, ORANG MISKIN YANG BERKURBAN

Namanya Yu Timah. Ia tergolong orang miskin dan menjadi salah seorang penerima program Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Subsidi Langsung Tunai (SLT). Empat kali menerima SLT selama satu tahun, jumlah uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2 juta.
Rumah Yu Timah berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan, status tanah yang ditempati gubuk Yu Timah bukan milik sendiri.
Usia Yu Timah sekitar 50-an. Badannya kurus dan tidak menikah. Ia jadi anak yatim sejak kecil. Ia  hidup sebatang kara. Yu Timah pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung halamannya.
Para tetangga bergotong-royong membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.
Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di pesantren di kampungnya. Setelah emaknya meninggal, Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Ia biayai anak itu hingga tamat SD.
Yu Timah kembali hidup sebatang kara, ketika kemenakan pergi ke Jakarta. Ia mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus.
Meski uangnya tidak banyak, Yu Timah termasuk pandai mengelola keuangan. Ia masih menyisihkan uangnya untuk menabung di sebuah bank perkreditan rakyat (BPR) Syariah. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor bank, katanya ia malu sebab ia orang miskin dan buta huruf.
Ia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Setelah menjadi penerima SLT, Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.
Suatu hari ia datang ke kantor bank.”Pak, saya mau mengambil tabungan,” kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.
”O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah tutup.
Bagaimana bila Senin?” kata petugas bank
”Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.”
”Mau ambil berapa?”.
”Enam ratus ribu, Pak.”
”Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?”
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu. ”Saya mau beli kambing kurban, Pak! Kalau 600 ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.”
Petugas bank terdiam, tertegun! Lama tak memberi jawaban. Ia lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah berkurban!
”Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar 600 ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?”
”Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi daging kurban.”
”Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.”
Wajah Yu Timah cerah seketika. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Ia pamit lalu pulang.
Setelah Yu Timah pergi, petugas bank termangu dan merenung:
“Kapankah Yu Timah mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya?”
“Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing kurban!”
“Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.”
Sumber: Resensi.net

Agama : Pengertian Kafir

Mengenai kepemimpinan dalam ajaran Al Quran, tidak ada yang salah dengan Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 144. Kalau kita analisis dalam gramatika bahasa Arab (Nahwu, Shorof, Balagoh) definisi kafir (berasal dari fiil madhi ka-fa-ro) itu adalah orang-orang yang ingkar nikmat, tidak mensyukuri karunia Tuhan dengan menyalahgunakannya pada hal-hal yang buruk, dengan berbagai bentuk kezaliman (termasuk di dalamnya adalah perilaku korupsi). Hal ini berdasar pada Al Qur’an surat Ibrahim ayat 7. “Bila kamu semua bersyukur pasti Aku tambah nikmat bagimu semua, dan bila kamu semua kafir (wa lain-kafar-tum, kafar/kafir=ingkar nikmat/tidak bersyukur) maka sesungguhnya azabku sangat pedih”.
Bukan Islam bahasa Arabnya adalah “laisal Islam”. Non muslim bahasa Arabnya “ghoirul muslim”. Sama sekali tidak ada literatur bahasa Arab yang menunjukkan bahwa non muslim atau bukan Islam bahasa Arabnya adalah kafir. Kalau kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimana kata ‘kafir’ telah mengalami divergensi makna sesuai pemahaman kebanyakan orang walaupun salah kaprah. Tapi bahasa Al Qur’an adalah bahasa Arab. Sebaiknya kita merujuk pada sumber aslinya.
Kafir dan Kufur adalah sama berasal dari fiil madhi ka-fa-ra. Kafir menunjukkan fa’il (subyek yang melakukan) sedangkan kufur menunjukkan jamak (banyak orang yang melakukan perbuatan kafara). Yang perlu dipahami definisi kafir selama ini adalah definisi yang justru tidak berdasar pada Al Qur’an. Jadi sebenarnya Al Qur’an surat An Nisa ayat 144 yang mengandung perintah jangan memilih pemimpin yang kafir adalah JANGAN PILIH PEMIMPIN YANG INGKAR NIKMAT.
Pemimpin yang menggunakan kekuasaannya bukan untuk kebaikan tapi untuk keburukan, kezaliman. Hampir semua kata-kata kafir dalam Al Qur’an dihubungkan dengan ingkarnya kenikmatan dan ketiadaan rasa syukur. Dan kafir itu bisa ditujukan juga untuk muslim itu sendiri, bila dia tidak mau bersyukur dan mengingkari nikmat Tuhannya. Kemudian dalam menafsirkan ayat Al Qur’an disamping membutuhkan kemampuan dalam gramatikal bahasa Arab (mengingat bahasa Al Qur’an adalah bahasa Arab dalam tingkat tinggi), juga memahami Asbanun Nuzul (konteks dan latar belakang diturunkan ayat Al Qur’an). Karena walaupun ayat Al Qur’an adalah firman Tuhan yang mempunyai sifat Mutlak (Absolut) ketika dia di ajarkan dan mencoba diaplikasikan dalam tataran manusia yang mempunya sifat Relativitas (bergantung pada yang lain) dia menggunakan bahasa manusia yang juga mempunyai sifat Relatif. Karena itu tidak pernah bisa ayat Al Qur’an dilepaskan dari konteks (Asbabun Nuzul).
Bila kita memahami Asbabun Nuzul Al Qur’an surat Al Maidah ayat 51 bahwa jangan pilih pemimpin dari orang Nasrani atau Yahudi maka sebenarnya pada saat itu terjadi imperialisme besar-besaran (perang/penyerangan/kezaliman) yang dilakukan oleh Kekaisaran Romawi (pada kebetulan saat itu menggunakan Nasrani sebagai agama nasional mereka) terhadap negeri-negeri di Jazirah Arab. Pada saat itu Muhammad SAW, membangun benteng yang kuat di Tabuk, bukan untuk menyerang tapi lebih untuk membela diri. Juga sebagai strategi menghadapi politik pecah belah (devide et impera) yang dilakukan orang-orang yang kebetulan beragama Yahudi untuk mengadu orang Islam dan orang Nasrani.
Sejarah berabad-abad lamanya telah mengajarkan pada kita bahwa pertumpahan darah akan terus menerus terjadi, lebih karena kepentingan politik dan ego masing-masing. Bila kita berpikir jernih semua ini bukan masalah agama. Sebelum turunnya agama, pertumpahan darah terus menerus terjadi. Karena agama apapun itu bisa ditafsirkan sesuai ego kita masing-masing, radikal, moderat atau liberal. Yang berbuat jahat atau berbuat baik bisa muncul dari orang apapun, dari agama manapun. Bukan masalah agamanya, tapi masalah orangnya. Maka sekarang sebenarnya siapa sebenarnya yang kafir? Sebenarnya adalah orang-orang yang berbuat kezaliman terhadap sesama dan membuat kerusakan di muka bumi. Intinya adalah mari hidup rukun dan damai. Berlomba-lomba dalam kebaikan dan menebarkan kedamaian di muka bumi serta mencari keselamatan dunia - akhirat.
Wallahu a’lam bishawab.
 http://politik.kompasiana.com/2012/08/07/pendapat-tentang-kepemimpinan-yang-kafir/