Mengenai kepemimpinan dalam ajaran Al Quran, tidak
ada yang salah dengan Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 144. Kalau kita
analisis dalam gramatika bahasa Arab (Nahwu, Shorof, Balagoh) definisi
kafir (berasal dari fiil madhi ka-fa-ro) itu adalah orang-orang yang
ingkar nikmat, tidak mensyukuri karunia Tuhan dengan menyalahgunakannya
pada hal-hal yang buruk, dengan berbagai bentuk kezaliman (termasuk di
dalamnya adalah perilaku korupsi). Hal ini berdasar pada Al Qur’an surat
Ibrahim ayat 7. “Bila kamu semua bersyukur pasti Aku tambah nikmat
bagimu semua, dan bila kamu semua kafir (wa lain-kafar-tum,
kafar/kafir=ingkar nikmat/tidak bersyukur) maka sesungguhnya azabku
sangat pedih”.
Bukan Islam bahasa Arabnya adalah “laisal Islam”. Non muslim bahasa Arabnya “ghoirul muslim”. Sama sekali tidak ada literatur bahasa Arab yang menunjukkan bahwa non muslim atau bukan Islam bahasa Arabnya adalah kafir.
Kalau kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimana kata
‘kafir’ telah mengalami divergensi makna sesuai pemahaman kebanyakan
orang walaupun salah kaprah. Tapi bahasa Al Qur’an adalah bahasa Arab.
Sebaiknya kita merujuk pada sumber aslinya.
Kafir dan Kufur adalah sama berasal dari fiil madhi
ka-fa-ra. Kafir menunjukkan fa’il (subyek yang melakukan) sedangkan
kufur menunjukkan jamak (banyak orang yang melakukan perbuatan kafara).
Yang perlu dipahami definisi kafir selama ini adalah definisi yang
justru tidak berdasar pada Al Qur’an. Jadi sebenarnya Al Qur’an surat An
Nisa ayat 144 yang mengandung perintah jangan memilih pemimpin yang kafir adalah JANGAN PILIH PEMIMPIN YANG INGKAR NIKMAT.
Pemimpin yang menggunakan kekuasaannya bukan untuk
kebaikan tapi untuk keburukan, kezaliman. Hampir semua kata-kata kafir
dalam Al Qur’an dihubungkan dengan ingkarnya kenikmatan dan ketiadaan
rasa syukur. Dan kafir itu bisa ditujukan juga untuk muslim itu sendiri,
bila dia tidak mau bersyukur dan mengingkari nikmat Tuhannya. Kemudian
dalam menafsirkan ayat Al Qur’an disamping membutuhkan kemampuan dalam
gramatikal bahasa Arab (mengingat bahasa Al Qur’an adalah bahasa Arab
dalam tingkat tinggi), juga memahami Asbanun Nuzul (konteks dan latar
belakang diturunkan ayat Al Qur’an). Karena walaupun ayat Al Qur’an
adalah firman Tuhan yang mempunyai sifat Mutlak (Absolut) ketika dia di
ajarkan dan mencoba diaplikasikan dalam tataran manusia yang mempunya
sifat Relativitas (bergantung pada yang lain) dia menggunakan bahasa
manusia yang juga mempunyai sifat Relatif. Karena itu tidak pernah bisa
ayat Al Qur’an dilepaskan dari konteks (Asbabun Nuzul).
Bila kita memahami Asbabun Nuzul Al Qur’an
surat Al Maidah ayat 51 bahwa jangan pilih pemimpin dari orang Nasrani
atau Yahudi maka sebenarnya pada saat itu terjadi imperialisme
besar-besaran (perang/penyerangan/kezaliman) yang dilakukan oleh
Kekaisaran Romawi (pada kebetulan saat itu menggunakan Nasrani sebagai
agama nasional mereka) terhadap negeri-negeri di Jazirah Arab.
Pada saat itu Muhammad SAW, membangun benteng yang kuat di Tabuk, bukan
untuk menyerang tapi lebih untuk membela diri. Juga sebagai strategi
menghadapi politik pecah belah (devide et impera) yang dilakukan orang-orang yang kebetulan beragama Yahudi untuk mengadu orang Islam dan orang Nasrani.
Sejarah berabad-abad lamanya telah mengajarkan pada
kita bahwa pertumpahan darah akan terus menerus terjadi, lebih karena
kepentingan politik dan ego masing-masing. Bila kita berpikir jernih
semua ini bukan masalah agama. Sebelum turunnya agama, pertumpahan darah
terus menerus terjadi. Karena agama apapun itu bisa ditafsirkan sesuai
ego kita masing-masing, radikal, moderat atau liberal. Yang berbuat
jahat atau berbuat baik bisa muncul dari orang apapun, dari agama
manapun. Bukan masalah agamanya, tapi masalah orangnya. Maka
sekarang sebenarnya siapa sebenarnya yang kafir? Sebenarnya adalah
orang-orang yang berbuat kezaliman terhadap sesama dan membuat kerusakan
di muka bumi. Intinya adalah mari hidup rukun dan damai.
Berlomba-lomba dalam kebaikan dan menebarkan kedamaian di muka bumi
serta mencari keselamatan dunia - akhirat.
Wallahu a’lam bishawab.
http://politik.kompasiana.com/2012/08/07/pendapat-tentang-kepemimpinan-yang-kafir/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar