Jumat, 28 Desember 2012

Tariq bin Ziyad

Mendung   hitam   menggelayut  di  atas  bumi  Spanyol.  Eropa  sedang dikangkangi  oleh  penjajah,  Raja  Gotik  yang  kejam.  Wanita merasa terancam  kesuciannya,  petani  dikenakan pajak tanah yang tinggi, dan banyak lagi penindasan yang tak berperikemanausiaan. Raja  dan  anteknya  bersuka ria dalam kemewahan sedang rakyat merintih dalam  kesengsaraan. Sebagian besar penduduk yang beragama Kristen danYahudi,  mengungsi  ke Afrika, berharap mendapat ketenangan yang lebih menjanjikan. Dan saat itu Afrika, adalah sebuah daerah yang makmur dan mempunyai  toleransi  yang  tinggi  karena  berada  di  bawah  naungan pemerintahan Islam.
Satu  dari  jutaan  pengungsi  itu  adalah Julian, Gubernur Ceuta yang putrinya  Florinda  telah  dinodai Roderick, raja bangsa Gotik. Mereka memohon  pada  Musa  bin  Nusair,  raja  muda  Islam  di  Afrika untuk memerdekakan negeri mereka dari penindasan raja yang lalim itu. Setelah  mendapat  persetujuan Khalifah, Musa melakukan pengintaian kepantai  selatan  Spanyol. Bulan Mei tahun 711 Masehi, Tariq bin Ziyad, budak Barbar yang juga mantan pembantu Musa bin Nusair memimpin 12.000 anggota  pasukan  muslim  menyeberangi selat antara Afrika dan daratan Eropa.
Begitu  kapal-kapal  yang  berisi  pasukannya mendarat di Eropa, Tariq mengumpulkan  mereka  di  atas sebuah bukit karang, yang dinamai Jabal Tariq  (karang Tariq) yang sekarang terkenal dengan nama Jabraltar. Diatas bukit karang itu Thariq memerintahkan pembakaran kapal-kapal yang telah menyeberangkan mereka. Tentu  saja  perintah  ini membuat prajuritnya keheranan. “Kenapa Andalakukan ini?” tanya mereka. “Bagaimana kita kembali nanti?” tanya yang lain.
Namun  Tariq  tetap pada pendiriannya. Dengan gagah berani ia berseru,”Kita  datang  ke  sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya pilihan,menaklukkan negeri ini dan menetap di sini, atau kita semua syahid. Keberanian  dan  perkataannya yang luar biasa menggugah Iqbal, seorangpenyair   Persia,  untuk  menggubahnya  dalam  sebuah  syair  berjudul”Piyam-i Mashriq”: “Tatkala  Tariq membakar kapal-kapalnya di pantai Andalusia (Spanyol), Prajurit-prajurit  mengatakan,  tindakannya tidak bijaksana. Bagaimanabisa  mereka  kembali  ke  negeri Asal, dan perusakan peralatan adalahbertentangan  dengan hukum Islam. Mendengar itu semua, Tariq menghunus pedangnya,  dan  menyatakan bahwa setiap negeri kepunyaan Alloh adalah kampung halaman kita.”
Kata-kata  Tariq  itu  bagaikan  cambuk yang melecut semangat prajuritmuslim  yang  dipimpinnya.  Bala  tentara muslim yang berjumlah 12.000 orang  maju  melawan  tentara  Gotik yang berkekuatan 100.000 tentara. Pasukan   Kristen   jauh   lebih   unggul  baik  dalam  jumlah  maupun persenjataan. Namun  semua  itu  tak mengecutkan hati pasukan muslim.
Tanggal  19  Juli tahun 711 Masehi, pasukan Islam dan Nasrani bertemu, keduanya  berperang  di  dekat  muara sungai Barbate. Pada pertempuran ini,  Tariq  dan pasukannya berhasil melumpuhkan pasukan Gotik, hingga Raja  Roderick  tenggelam  di  sungai  itu. Kemenangan Tariq yang luar biasa  ini,  menjatuhkan semangat orang-orang Spanyol dan semenjak itu mereka  tidak  berani  lagi  menghadapi  tentara Islam secara terbuka.
Tariq  membagi  pasukannya  menjadi  empat  kelompok, dan menyebarkan mereka  ke Kordoba, Malaga, dan Granada. Sedangkan dia sendiri bersamapasukan  utamanya  menuju  ke Toledo, ibukota Spanyol. Semua kota-kota itu  menyerah tanpa perlawanan berarti. Kecepatan gerak dan kehebatanpasukan  Tariq  berhasil melumpuhkan orang-orang Gotik.
Rakyat Spanyol yang   sekian   lama   tertekan   akibat   penjajahanbangsa  Gotik, mengelu-elukan  orang-orang  Islam.  Selain  itu, perilaku  Tariq dan orang-orang   Islam   begitu  mulia  sehinggamereka  disayangi  oleh bangsa-bangsa  yang ditaklukkannya.
Salah satu pertempuran paling seru terjadi  di  Ecija,  yang membawakemenangan bagi pasukan Tariq. Dalam pertempuran  ini,  Musa bin Nusair, atasannya, sang raja muda Islam di Afrika  ikut  bergabung dengannya.
Selanjutnya,  kedua  jenderal itu bergerak  maju  terus berdampingan dan dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun   seluruh  dataran  Spanyol jatuh  ke  tangan  Islam.  Portugis ditaklukkan  pula  beberapa tahun kemudian.
“Ini merupakan perjuangan utama  yang  terakhir  dan  paling sensasional bagi bangsa Arab itu,” tulis Phillip K.Hitti, “dan membawa masuknya wilayah Eropa yang paling luas  yang  belum  pernah mereka peroleh sebelumnya ke dalam kekuasaan Islam. Kecepatan pelaksanaan dan kesempurnaan keberhasilan operasi ke Spanyol   ini  telah  mendapat tempat  yang  unik  di  dalam  sejarah peperangan  abad  pertengahan.”
Penaklukkan  Spanyol oleh orang-orang Islam  mendorong timbulnya revolusi sosial di mana kebebasan beragama benar-benar  diakui. Ketidak toleranan  dan  penganiayaan  yang  biasa dilakukan orang-orang Kristen, digantikan oleh toleransi yang tinggi dan kebaikan  hati yangluar biasa.
Keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu,  sehingga  jika tentara  Islam  yang  melakukan  kekerasan akan dikenakan hukuman berat. Tidak ada harta benda atau tanah milik rakyat yang  disita. Orang-orang Islam memperkenalkan sistem perpajakan yang sangat  jitu yang  dengan cepat membawa kemakmuran di semenanjung itu dan menjadikan negeri teladan di Barat. Orang-orang Kristen dibiarkan memiliki  hakim sendiri untuk memutuskan perkara-perkara mereka. Semua komunitas   mendapat   kesempatan  yang  sama  dalam  pelayanan  umum.
Pemerintahan  Islam  yang  baik  dan  bijaksana  ini membawa efek luar biasa.  Orang-orang  Kristen  termasuk  pendeta-pendetanya  yang  pada mulanya  meninggalkan  rumah  mereka  dalam keadaan ketakutan, kembali pulang  dan  menjalani  hidup yang bahagia dan makmur. Seorang penulis Kristen   terkenal  menulis:  “Muslim-muslim  Arab  itu  mengorganisir kerajaan  Kordoba  yang baik adalah sebuah keajaiban Abad Pertengahan, mereka  mengenalkan obor pengetahuan dan peradaban, kecemerlangan dan keistimewaan  kepada  dunia  Barat.  Dan  saat  itu Eropa sedang dalam kondisi  percekcokan  dan  kebodohan  yang  biadab.”
Tariq  bermaksud menaklukkan   seluruh   Eropa,   tapi  Alloh menentukan  lain.  Saat merencanakan  penyerbuan  ke  Eropa,  datang panggilan dari Khalifah untuk  pergi  ke Damaskus. Dengan disiplin dan kepatuhan tinggi, Tariq memenuhi  panggilan  Khalifah  dan berusaha tiba  seawal  mungkin di Damaskus.  Tak  lama  kemudian, Tariq  wafat di  sana. Budak Barbar, penakluk  Spanyol, wilayah Islam terbesar di Eropa yang selama delapan abad di bawah kekuasaan Islam telah memenuhi panggilan Rabbnya. Semoga Alloh merahmatinya. (her)
Kontribusi oleh ID: Noy (melalui Forum Media Muslim)

WANITA PEMERAH SUSU DAN ANAK GADISNYA


Pada zaman pemerintahan Umar bin Khaththab hiduplah seorang janda miskin bersama seorang anak gadisnya di sebuah gubuk tua di pinggiran kota Mekah. Keduanya sangat rajin beribadah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Setiap pagi, selesai salat subuh, keduanya memerah susu kambing di kandang. Penduduk kota Mekah banyak yang menyukai susu kambing wanita itu karena mutunya yang baik.
Pada suatu malam, Khalifah Umar ditemani pengawalnya berkeliling negeri untuk melihat dari dekat keadaan hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Setelah beberapa saat berkeliling, sampailah khalifah di pinggiran kota Mekah. Beliau tertarik melihat sebuah gubuk kecil dengan cahaya yang masih tampak dari dalamnya yang menandakan bahwa penghuninya belum tidur. Khalifah turun dari kudanya, lalu mendekati gubuk itu. Samar-samar telinganya mendengar percakapan seorang wanita dengan anaknya.
"Anakku, malam ini kambing kita hanya mengeluarkan susu sedikit sekali. Ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan pelanggan kita besok pagi," keluh wanita itu kepada anaknya.
Dengan tersenyum, anak gadisnya yang beranjak dewasa itu menghibur, "Ibu, tidak usah disesali. Inilah rezeki yang diberikan Allah kepada kita hari ini. Semoga besok kambing kita mengeluarkan susu yang lebih banyak lagi."
"Tapi, aku khawatir para pelanggan kita tidak mau membeli susu kepada kita lagi. Bagaimana kalau susu itu kita campur air supaya kelihatan banyak?"
"Jangan, Bu!" gadis itu melarang. "Bagaimanapun kita tidak boleh berbuat curang. Lebih baik kita katakan dengan jujur pada pelanggan bahwa hasil susu hari ini hanya sedikit. Mereka tentu akan memakluminya. Lagi pula kalau ketahuan, kita akan dihukum oleh Khalifah Umar. Percayalah, ketidakjujuran itu akan menyiksa hati."
Dari luar gubuk itu, Khalifah Umar semakin penasaran ingin terus mendengar kelanjutan percakapan antara janda dan anak gadisnya itu.
"Bagaimana mungkin khalifah Umar tahu!" kata janda itu kepada anaknya. "Saat ini beliau sedang tertidur pulas di istananya yang megah tanpa pernah mengalami kesulitan seperti kita ini?"
Melihat ibunya masih tetap bersikeras dengan alasannya, gadis remaja itu tersenyum dengan lembut dan berkata, "Ibu, memang Khalifah tidak melihat apa yang kita lakukan sekarang. Tapi Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluknya. Meskipun kita miskin, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang dimurkai Allah."
Dari luar gubuk, khalifah tersenyum mendengar ucapan gadis itu. Beliau benar-benar kagum dengan kejujurannya. Ternyata kemiskinan dan himpitan keadaan tidak membuatnya terpengaruh untuk berbuat curang. Setelah itu khalifah mengajak pengawalnya pulang.
Keesokan harinya, Umar memerintahkan beberapa orang untuk menjemput wanita pemerah susu dan anak gadisnya untuk menghadap kepadanya. Beliau ternyata bermaksud menikahkan putranya dengan gadis jujur itu.
Sungguh sebuah teladan bagi kita semua, bahwa kejujuran karena takut kepada Allah adalah suatu harta yang tak ternilai harganya. Mungkin ini yang sulit kita dapatkan sekarang.

NASIHAT BAGI PENGUASA

Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng memang perlu keberanian yang tinggi, sebab resikonya besar. Bisa-bisa akan kehilangan kebebasan, mendekam dalam penjara, bahkan lebih jauh lagi dari itu, nyawa bisa melayang. Karena itu, tidaklah mengherankan ketika pada suatu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya oleh seorang sahabat perihal perjuangan apa yang paling utama, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab, "Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng."
Demikian sabda Tasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang dikisahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i, Abu Daud, dan Tirmidzi, berdasarkan penuturan Abu Sa'id al-Khudry Radhiyallahu 'anhu, dan Abu Abdillah Thariq bin Syihab al-Bajily al-Ahnasyi. Oleh sebab itu, sedikit sekali orang yang berani melakukannya, yakni mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng.
Di antara yang sedikit itu (orang yang pemberani) terdapatlah nama Thawus al-Yamani. Ia adalah seorang tabi'in, yakni generasi yang hidup setelah para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bertemu dengan mereka dan belajar dari mereka. Dikisahkan, suatu ketika Hisyam bin Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani Umayyah, melakukan perjalanan ke Mekah guna melaksanakan ibadah haji. Di saat itu beliau meminta agar dipertemukan dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang hidup. Namun sayang, ternyata ketika itu tak seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang masih hidup. Semua sudah wafat. Sebagai gantinya, beliau pun meminta agar dipertemukan dengan seorang tabi'in.
Datanglah Thawus al-Yamani menghadap sebagai wakil dari para tabi'in. Ketika menghadap, Thawus al-Yamani menanggalkan alas kakinya persis ketika akan menginjak permadani yang dibentangkan di hadapan khalifah. Kemudia ia langsung saja nyelonong masuk ke dalam tanpa mengucapkan salam perhormatan pada khalifah yang tengah duduk menanti kedatangannya. Thawus al-Yamani hanya mengucapkan salam biasa saja, "Assalamu'alaikum," langsung duduk di samping khalifah seraya bertanya, "Bagaimanakah keadaanmu, wahai Hisyam?"
Melihat perilaku Thawus seperti itu, khalifah merasa tersinggung. Beliau murka bukan main. Hampir saja beliau memerintahkan kepada para pengawalnya untuk membunuh Thawus. Melihat gelagat yang demikian, buru-buru Thawus berkata, "Ingat, Anda berada dalam wilayah haramullah dan haramurasulihi (tanah suci Allah dan tanah suci Rasul-Nya). Karena itu, demi tempat yang mulia ini, Anda tidak diperkenankan melakukan perbuatan buruk seperti itu!"
"Lalu apa maksudmu melakukakan semua ini?" tanya khalifah.
"Apa yang aku lakukan?" Thawus balik bertanya.
Dengan geram khalifah pun berkata, "Kamu tanggalkan alas kaki persis di depan permadaniku. Kamu masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebagai khalifah, dan juga tidak mencium tanganku. Lalu, kamu juga memanggilku hanya dengan nama kecilku, tanpa gelar dan kun-yahku. Dan, sudah begitu, kamu berani pula duduk di sampingku tanpa seizinku. Apakah semua itu bukan penghinaan terhadapku?"
"Wahai Hisyam!" jawab Thawus, "Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga menanggalkannya lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah 'Azza wa Jalla. Dia tidak marah, apalagi murka kepadaku lantaran itu."
"Aku tidak mencium tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu pernah berkata bahwa seorang tidak boleh mencium tangan orang lain, kecuali tangan istrinya karena syahwat atau tangan anak-anaknya karena kasih sayang."
"Aku tidak mengucapkan salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan kata-kata amiirul mukminin lantaran tidak semua rela dengan kepemimpinanmu; karenanya aku enggan untuk berbohong."
"Aku tidak memanggilmu dengan sebutan gelar kebesaran dan kun-yah lantaran Allah memanggil para kekasih-Nya di dalam Alquran hanya dengan sebutan nama semata, seperti ya Daud, ya Yahya, ya 'Isa; dan memanggil musuh-musuh-Nya dengan sebutan kun-yah seperti Abu Lahab...."
"Aku duduk persis di sampingmu lantaran kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu pernah berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni neraka, maka lihatlah orang yang duduk sementara orang di sekitarnya tegak berdiri."
Mendengar jawaban Thawus yang panjang lebar itu, dan juga kebenaran yang terkandung di dalamnya, khalifah pun tafakkur karenanya. Lalu ia berkata, "Benar sekali apa yang Anda katakan itu. Nah, sekarang berilah aku nasehat sehubungan dengan kedudukan ini!" "Kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu berkata dalam sebuah nasehatnya," jawab Thawus, "Sesungguhnya dalam api neraka itu ada ular-ular berbisa dan kalajengking raksasa yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya."
Mendengar jawaban dan nasehat Thawus seperti itu, khalifah hanya terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menyadari bahwa menjadi seorang pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana serta tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyatnya. Setelah berbincang-bincang beberapa lamanya perihal masalah-masalah yang penting yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus al-Yamani pun meminta diri. Khalifah pun memperkenankannya dengan segala hormat dan lega dengan nasehat-nasehatnya.

KISAH MENGHARUKAN KEMULIAAN NABI MUHAMMAD SAW

Dalam satu kesempatan usai shalat berjamaah di masjid, Rasulullah yang baru sembuh dari sakit berdiri di depan jamaahnya dan berkata, “Duhai sahabat, kalian tahu umurku tak akan lagi panjang, Siapakah di antara kalian yang pernah merasa teraniaya oleh si lemah in i(nabi)? bangkitlah sekarang untuk mengambil qisas (pembalasan), jangan kau tunggu hingga kiamat menjelang, karena sekarang itu lebih baik”. Semua yang hadir terdiam, semua mata menatap lekat Nabi yang terlihat lemah. Tak akan pernah ada dalam benak mereka perilaku Nabi yang terlihat janggal. Apapun yang dilakukan Nabi, selalu saja indah. Segala hal yang diperintahkannya, selalu membuihkan bening saripati cinta. Tak akan rela sampai kapanpun, ada yang menyentuhnya meski hanya secuil jari kaki. Apapun akan digadaikan untuk membela Al-Musthafa (nabi)
Melihat semua terdiam, Nabi mengulangi lagi ucapannya, kali ini suaranya terdengar lebih keras. Masih saja para sahabat duduk tenang. Hingga ucapan yang ketiga kali, seorang laki-laki berdiri menuju Nabi. Dialah ‘Ukasyah Ibnu Muhsin. “Ya Rasul Allah, dulu aku pernah bersamamu di perang Badar. Untaku dan untamu berdampingan, dan aku pun menghampirimu agar dapat menciummu, duhai kekasih Allah, saat itu engkau melecutkan cambuk kepada untamu agar dapat berjalan lebih cepat, namun sesungguhnya engkau memukul lambung samping ku” ucap ‘Ukasyah.

Mendengar ini Nabi pun menyuruh Bilal mengambil cambuk di rumah putrinya, Fatimah. Tampak keengganan menggelayuti Bilal, langkahnya terayun begitu berat, ingin sekali ia menolak perintah tersebut. Ia tidak ingin cambuk yang dibawanya itu melecut tubuh Nabi yang baru saja sembuh.

Abu Bakar dan Umar bin Khattab maju ke depan dan berkata kepada Ukasyah, “Deralah kami sesukamu, pilihlah bagian mana saja yang kau inginkan. Jangan sekali-kali kau pukul Rasul…” Namun Rasulullah meminta keduanya duduk kembali dan membiarkan Ukasyah melanjutkan. Begitu pun ketika Ali bin Abi Thalib berdiri dan mengajukan dirinya untuk dikisas menggantikan baginda Nabi.

Ketika Rasulullah membuka gamisnya, maka terlihatlah tubuh indah nan mulia milik lelaki pilihan itu. Saat itulah Ukasyah membuang cambuk di tangannya dan melompat memeluk tubuh mulia itu. “Siapakah yang sampai hati mengkisas manusia indah sepertimu. Aku hanya berharap tubuhku melekat dengan tubuhmu hingga Allah dengan keistimewaan ini menjagaku dari sentuhan api neraka”. Dengan tersenyum, Nabi berkata: “Ketahuilah duhai manusia, siapa yang ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah pribadi lelaki ini”. Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji Allah…