Minggu, 27 November 2011

Agama : KANG SEJO MELIHAT TUHAN

Ini adalah salah satu tulisan yang menggugah hati kumpulan Ahmad Sobary:
Bukan salah saya kalau suatu hari saya ceramah agama di depan sejumlah mahasiswa Monash yang, satu di antaranya, Islamnya menggebu. Artinya, Islam serba berbau Arab. Jenggot mesti panjang. Ceramah mesti merujuk ayat, atau Hadis. Lauk mesti halal meat. Dan, semangat mesti ditujukan buat meng-Islam-kan orang Australia. Tanpa itu semua jelas tidak Islami. Saya pun dicap tidak Islami. Iman saya campur aduk dengan wayang. Dus, kalau pakai kaca mata Geertz, seislam-islamnya saya, saya ini masih Hindu. Memang salah saya, sebab ketika itu saya main ibarat: Gatutkaca itu sufi. Ia satria-pandita.


Tiap saat seperti tidur, padahal berzikir qolbi. Jasad di bumi, roh menemui Tuhan. Ini turu lali, mripat turu, ati
tangi: mata tidur hati melek, seperti olah batin dalam dunia kaum sufi.
Biar masih muda, hidup Gatutkaca seimbang, satu kaki di dunia satu lagi di akhirat. Mirip Nabi Daud: hari ini puasa, sehari esoknya berbuka. Dan saya pun dibabat ...

Juli tahun lalu saya dijuluki Gus Dur sebagai orang yang doanya pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar. Maksudnya, tak banyak doa yang saya hafal. Namun, yang takbanyak itu saya amalkan.

"Dan itu betul. Artinya, banyak ilmu ndak diamalkan buat apa?" kata Pak Kiai sambil bergolek-golek di Hotel
Sriwedari, Yogya. Apa yang lebih indah dalam hidup ini,selain amal yang memperoleh pengakuan Romo Kiai? Saya merasa hidup jadi kepenak, nikmat.

Dalam deretan Sufi, Al Adawiah disebut "raja." Wanita ini hamba yang total. Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak menarik berkat pesona lain: getaran cinta ilahi. Pernah ia berkata, "Bila Kau ingin menganugerahi aku nikmat duniawi, berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Dan bila ingin Kau limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup."

Ini tentu berkat ke-"raja"-annya. Lumrah. Lain bila itu terjadi pada Kang Sejo. Ia tukang pijit -maaf, Kang, saya sebut itu- tunanetra.

Kang Sejo pendek pula doanya. Bahasa Arab ia tak tahu. Doanya bahasa Jawa: Gusti Allah ora sare (Allah tak pernah tidur): potongan ayat Kursi itu. Zikir ia kuat. Soal ruwet apa pun yang dihadapi, wiridannya satu: "Duh, Gusti, Engkau yang tak pernah tidur ..." Cuma itu.
"Memang sederhana, wong hidup ini pun dasarnya juga sederhana," katanya, sambil memijit saya.

Saya tertarik cara hidupnya. Saya belajar. Guru saya ya orang macam ini, antara lain. Rumahnya di Klender.
Kantornya, panti pijat itu, di sekitar Blok M. Ketika saya tanya, apa yang dilakukannya di sela memijit, dia bilang, "Zikir Duh, Gusti ..." Di rumah, di jalan, di tempat kerja, di mana pun, doanya ya Duh, Gusti ... itu. Satu tapi jelas di tangan.

"Berapa kali Duh Gusti dalam sehari?" tanya saya.
"Tidak saya hitung."

"Lho, apa tak ada aturannya? Para santri kan dituntun kiai, baca ini sekian ribu, itu sekian ribu," kata saya

"Monggo mawon (ya, terserah saja)," jawabnya. "Tuhan memberi kita rezeki tanpa hitungan, kok. Jadi, ibadah pun tanpa hitungan."

"Sampeyan itu seperti wali, lo, Kang," saya memuji.

"Monggo mawon. Ning (tapi) wali murid." Dia lalu ketawa.

Diam-diam ia sudah naik haji. Langganan lama, seorang pejabat, mentraktirnya ke Tanah Suci tiga tahun yang lalu. 'Senang sampeyan, Kang, sudah naik haji?"

"Itu kan rezeki. Dan rezeki datang dari sumber yang tak terduga," katanya.

"Ayat menyebutkan itu, Kang."

"Monggo mawon. Saya tidak tahu."

Ketularan bau Arab, saya tanya kenapa doanya bahasa Jawa.

"Apa Tuhan tahunya cuma bahasa Arab?"

"Kalau sampeyan Dah Duh Gusti di bis apa penumpang lain ..."

"Dalam hati, Mas. Tak perlu diucapkan."

Ia, konon, pernah menolak zakat dari seorang tetangganya. Karena disodor-sodori, ia menyebut, "Duh, Gusti, yang tak pernah tidur ..." Pemberi zakat itu, entah bagaimana, ketakutan. Ia mengaku uang itu memang kurang halal. Ia minta maaf. "Mengapa sampeyan tahu uang zakat itu haram"? tanya saya. "Rumah saya tiba-tiba panas. Panaaaas sekali."

"Kok sampeyan tahu panas itu akibat si uang haram?"

"Gusti Allah ora sare, Mas," jawabnya.

Ya, saya mengerti, Kang Sejo. Ibarat berjalan, kau telah sampai. Dalam kegelapan matamu kau telah melihatNya. Dan aku? Aku masih dalam taraf terpesona. Terus-menerus

dari http://kabarbengkulu.com/serbaserbi/read/kang_sejo_melihat_tuhan/

Agama : Gusti Allah Tidak “Ndeso”

Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah Tidak “Ndeso”

Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah Tidak “Ndeso”
Beragama yang Tidak Korupsi

Oleh: Faisal

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. “Cak Nun,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?

Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi. “Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang
memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid,
melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat,
baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik VS Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, “Ia di neraka.” Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.
Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport. Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan. Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut tentang bid’ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid’ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama. [ed.AYS]

Sumber : http://kajianislam.wordpress.com/2007/08/03/emha-ainun-nadjib-gusti-allah-tidak-ndeso/

AGAMA : Sedekah Jangan Menunggu Ikhlas

Sedekah Jangan Menunggu Ikhlas

Mendengar kata sedekah, biasanya yang terbayang adalah kata-kata yang sangat terkenal : “Biar sedikit yang penting ikhlas!“. Kalimat sakti yang selalu melindungi malasnya kita sedekah ini sudah begitu mendarah daging dalam kehidupan kita sejak kita masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak.

Saya jadi teringat dengan bincang-bincang ringan tentang Sedekah antara saya dengan Bapak Riawan Amin (mantan CEO Bank Muamalat) ditemani oleh Ustadz Fajrie (direktur Muamalat Institute), Gunawan Paggaru (Sutradara) serta Embie C.Noer (Tokoh Budaya) dalam obrolan santai sambil menikmati martabak telor dan secangkir kopi di sore yang mendung setahun yang lalu. (cieee…).

Ketika itu Bapak Riawan Amin dan Ustadz Fajrie menyampaikan pentingnya Sedekah dan betapa Sedekah bisa menjadi solusi untuk mengatasi kemiskinan bangsa ini.

Saat itu saya berkomentar bahwa Sedekah adalah ibadah yang paling sulit dijalankan. “Karena pake Syarat sih Pak. Kudu IKHLAS!” kata saya. “Padahal udah jelas sedekah banyak-banyak mah susah ikhlas nya. Nanti udah keluar duit, gak dapet pah ala pula. Dobel ruginya” sambung saya lagi sambil cengar-cengir.

Komentar saya disambut Gunawan Paggaru “Bener pak. Kalo sedekah 5000 sih ikhlas. 10.000 juga ikhlas. Tapi begitu 100 ribu lumayan geterrr juga pak” kami semua tertawa mendengarnya. Lalu dengan santai Pak Riawan Amin bertanya “Yang bilang Sedekah Musti Ikhlas itu siapa ?” Nah Lho ! saya, Gunawan dan Embie kontan saling pandang bingung kayak orang bego…

“Lagian, s iapa yang bisa mengukur keihkhlasan seseorang?” sambung Pak Riawan Amin lagi. Dan… kuliah Sedekah pun dimulai he he…

Dipikir-pikir bener juga. Yang berhak untuk menilai ikhlas gak ikhlas itu kan hak hanya Allah. Lagipula sedekah itu kan sama dengan menolong orang yang sedang membutuhkan. Artinya sedekah jelas merupakan perbuatan yang punya nilai kebaikan. Dan yang namanya kebaikan pasti ada pahalanya. Anggaplah saat bersedekah itu kita tidak ikhlas. Tapi kan sedekah yang kita berikan pasti tetap memberi manfaat bagi yang menerimanya. Kalaupun sedekahnya tidak mendapat pahala karena tidak ikhlas, kan masih ada cadangan amal ibadah karena sudah membantu orang yang membutuhkan. Itung-itungannya gini deh..

Misalnya kita cuma ikhlas memberi sedekah sebesar 10.000 perak. Padahal kemampuan kita sebenarnya bisa memberi sedekah 500.000 perak. Ya udah, kasih aja 500.000 perak. Yang 10.000 perak dapet pahala karena ikhlas, yang 490.000 perak sisanya dapet pahala karena memberi pertolongan yang bermanfaat. Tetep untung kan ? Hayaaa jadi itung-itungan gini yah he he…

Itung-itungan sama Allah ? Boleh kok. Kan Allah sendiri yang membuka peluang ummatnya untuk itung-itungan dalam sedekah. Coba simak janji Allah berikut ini :

“Barang siapa berbuat kebaikan, mendapat balasan 
sepuluh kali lipat amalnya.
Dan barang siapa berbuat kejahatan, 
dibalas seimbang dengan kejahatannya”
(QS. 6 Al An’a
m : 160)

Atau yang satu ini :

“Perumpamaan orang yang menginfaqkan hartanya di jalan ALLAH
seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai,
pada setiap tangkai ada seratus biji…”
(QS. 2 Al-Baqarah : 261)

Jelas kan, Allah sendiri sudah menjanjikan kepada ummatnya dengan format itung-itungan yang jelas. Jadi gak masalah kalau kita mau itung-itungan dengan Allah. Gak masalah juga kalau kita ber-pamrih kepada Allah. Yang gak boleh itu pamrih sama orang

Kalimat “Biar sedikit yang penting ikhlas” ternyata sudah menjebak kita untuk menjadi ummat yang egois. Bahkan saat sedekahpun kita masih memikirkan diri sendiri. Biar sedikit, yang penting ikhlas dan kita dapat pahala. Hanya pahala untuk kita yang kita pikirkan, bukannya kepentingan orang yang kita beri sedekah. Padahal sedekah 500.000 perak jelas lebih bermanfaat bagi sipenerima ketimbang duit 10rebu ! Cuma gara-gara takut tidak dapat pahala kita malah batal menolong orang.

Padahal gak kurang-kurang Ustadz Yusuf Mansyur bercerita tentang dahsyatnya sedekah lengkap dengan testimoni jamaah nya yang sudah merasakan manfaat langsung dari sedekah.

Pak Riawan Amin sendiri menyampaikan salah satu rahasia sukses dirinya dalam menyelamatkan Bank Muamalat adalah Sedekah. Bagaimana Bank yang dulu nyaris bangkrut itu mampu bangkit bahkan mampu mencetak laba besar setahun kemudian. Jika biasanya orang membayar sedekah disaat sudah untung, Pak Riawan Amin justru “memaksa” Bank Muamalat untuk membayar zakat disaat rugi.

“Allah menjanjikan minimal 10 kali lipat dari sedekah. Jadi kalau tahun depan mau untung, ya bayar sedekah 10% dari target!” begitu yang beliau sampaikan ketika itu. Dan kenyataannya memang Muamalat berhasil bangkit.

Konsep ini menurut saya sangat menarik. Karena umumnya kita memang selalu menyisihkan sedikit keuntungan kita untuk sedekah. Kenapa tidak dibalik ? Jadikan sedekah sebagai setoran awal.

jadi, jangan tunggu punya duit baru sedekah. Justru sedekah supaya punya duit.

Jangan tunggu kaya baru sedekah. Justru sedakah supaya kaya.

Saya tidak akan menyampaikan apa saja manfaat sedekah. karena saya yakin anda semua sudah tahu. Kan dari SD juga udah diajarin oleh guru agama kita disekolah.

Yang ingin saya sampaikan adalah, mari kita rubah kalimat “Biar sedikit yang penting ikhlas” menjadi “Biar Gak Ikhlas yang penting banyak !”

Sejenak saya bersyukur sudah hadir dalam obrolan ngopi sore itu. Obrolan yang menambah keyakinan saya pada janji-jani Sang Pemilik Kehidupan. Dari obrolan itu juga yang kemudian membuat saya tertarik membaca buku “7 Keajaiban Rejeki” karya Ipho Santosa dan buku “Ternyata Sedekah nggak harus Ikhlas” karya Marah Adil. Dan tentunya seabreg buku-buku Yusuf Mansyur.

Bukannya mau promosi karena saya juga toh tidak kenal secara pribadi dengan mereka. Tapi hanya sekedar berbagi bahwa buku-buku itu sangat indah untuk dibaca.

Jadi, mulai sekarang mari kita bersedekah dengan prinsip : “Biar Gak Ikhlas yang penting banyak!” .

Salam Satu Orang Satu

Sumber dari : http://satuorangsatu.com/blog/43-blog/101-sedekah-jangan-menunggu-ikhlas

AGAMA : Sedekah itu Tidak Harus Ikhlas Lho....

Sedekah itu Tidak Harus Ikhlas Lho....
Kalian punya twitter? Sudah pernah follow @pecintasedekah belum. Kalau belum coba follow deh, biar nampol dan melekat di hati itu tweet-tweetnya tentang sedekah. Keren dan suka mengguncang realita berpikir kita. Apalagi yang suka pakai alesan, “biar sedikit yang penting ikhlas“.


Dulu saya juga punya pemikiran yang sama. Sedekah itu tidak apa-apa sedikit, yang penting ikhlas. Sampai akhirnya ketemu juga dengan rangkaian tweet yang intinya adalah :
Quote:
Kalau bisa sedekah banyak dan ikhlas, kenapa membatasi diri dengan sedekah kecil-kecilan?
Kalau dipikir ada benarnya juga. Semakin sering kita ngucapin “biar sedikit yang penting ikhlas”, kita ngga bakal beranjak dari posisi semula yang cuma bisa ikhlas kalau sedekah dalam jumlah kecil. Padahal keutamaan sedekah itu banyak banget loh. Coba baca buku 7 Keajaiban Rezeki! Di sesi sharing dengan teman-teman, banyak yang memberikan kesaksian buah berkah dari sedekah ini. Bahkan teman dekat saya malah cerita, kalau banyak dreamnya tahun ini terwujud sejak dia sering sedekah.

Sedekah itu tidak harus ikhlas. Itu yang sering dilontarkan oleh @pecintasedekah. Kalau menunggu untuk ikhlas, bisa-bisa kita malah tidak bersedekah sama sekali. Justru karena belum bisa ikhlas, ya sering-seringlah sedekah. Belum ikhlas karena belum terbiasa dan masih perhitungan biasanya. Yang dipake tentu saja otak logika, padahal Tuhan kalau memberi nikmat ngga hitung-hitungan. Yang disedekahkan dikit aja baliknya bisa banyak, apalagi kalau sedekahnya banyak.

Kalau mau dianalogikan sama saja dengan shalat. Kita diperintahkan untuk khusyu dalam melaksanakan ibadah shalat. Lantas, kalau belum bisa khusyu apa terus tidak shalat? Tentu tidak toh. Malah kalau bisa rajin shalatnya sambil berusaha khusyu. Sama saja dengan sedekah atau ibadah-badah yang lainnya. Kalau menunggu ikhlas dulu, bisa-bisa keburu dijemput sama Izrail sementara belum banyak amal ibadah yang dilakukan.

Sebelum rasa ikhlas itu datang jangan mengurangi porsi ibadah. Kalau bisa ditingkatkan. Barangkali dengan jalan seperti itu keikhlasan bisa datang. Selebihnya silahkan belajar tentang ikhlas, khususnya dalam hal sedekah, pada Pecinta Sedekah. Slogan “Makin Banyak Memberi, Makin Banyak Menerima” itu bukan bualan belaka. Itu nyata!

sumber dari : http://ceriwis.us/showthread.php?t=430655

Rabu, 09 November 2011

agama : Masih Ada Orang Baik

Masih Ada Orang Baik

oleh Umar Abdullah

Di Masa Pemerintahan Amirul Mu`minin Umar bin Khaththab ra ada seorang laki-laki yang membunuh seseorang. Anak-anak korban pembunuhan mengajukan kasus ini ke pengadilan. Oleh Umar sang khalifah, laki-laki pembunuh tersebut diputuskan untuk dijatuhi hukuman mati karena ahlu waris korban tidak mau menerima diat (tebusan), apalagi memaafkan kesalahan si pembunuh.

Laki-laki pembunuh itu pun menerima keputusan hukum Islam atas dirinya berupa hukuman mati. Namun ia keberatan jika hukuman dilakukan hari itu juga. Ia mengajukan penundaan hukuman beberapa hari agar ia bisa memberitahu keluarganya mengenai hukuman yang menimpanya.

Umar tidak bisa menerima permohonannya kecuali jika ada yang menjaminnya. Artinya, jika laki-laki terpidana hukuman mati itu tidak kembali sampai akhir batas waktu yang telah ditentukan, maka penjamin harus menggantikannya menjalani hukuman mati.

Tak disangka, Abu Hurairah yang tidak kenal dengan terpidana menyatakan bersedia menjadi penjaminnya.

Maka pulanglah laki-laki terpidana mati itu ke keluarganya.

Pada hari terakhir dari toleransi waktu yang diberikan Khalifah Umar, lelaki terpidana mati itu belum juga kembali. Hingga waktu menjelang sore mau habis, dia juga belum juga terlihat. Melihat kenyataan tersebut, Abu Hurairah nampak gelisah.

Namun karena Abu Hurairah ra sudah menyatakan kesediaannya menjamin, maka beliau bersiap menggantikannya menjalani hukuman mati. Di saat-saat kritis itulah, tiba-tiba berseru orang dari kejauhan, “Berhenti! Berhenti! Jangan diteruskan!”

Ternyata orang yang berseru itu adalah sang terpidana. Dia baru saja tiba dari kampung halamannya.

Melihat kejadian tersebut, dengan takjub Umar bin Khaththab sang amirul mu`minin bertanya kepada terpidana mati.

“Kenapa kau kembali. Bukankah ada kesempatan bagimu untuk melarikan diri dari hukuman mati ini?” tanya Umar

”Memang betul. Aku bisa saja lari dari hukuman ini. Tapi apa kata orang, jika aku lari, mereka akan mengatakan bahwa sudah tidak ada lagi di dunia ini laki-laki yang baik,” kata lelaki terpidana mati itu.

Tak kalah takjubnya dengan keputusan Abu Hurairah, Umar bertanya kepadanya.

”Wahai Abu Hurairah, mengapa engkau bersedia menjamin orang itu. Engkau tidak mengenal orang itu dan engkau tahu jika ia tidak kembali maka engkau yang akan menggantikannya menerima hukuman mati?” tanya Umar

”Wahai Amirul Mu`minin, aku khawatir jika tidak ada yang menjaminnya, maka orang-orang akan mengatakan bahwa di dunia ini sudah tidak ada orang yang baik yang mau menjamin saudaranya,” kata Abu Hurairah.

Melihat pemandangan tersebut, para ahlu waris si terbunuh pun memaafkan terpidana mati tersebut.

Masih dengan ketakjuban Umar bertanya ke ahlu waris si terbunuh tersebut, ”Mengapa kalian memaafkan sang pembunuh?”

Mereka menjawab, ”Kami khawatir jika orang-orang mengatakan bahwa di dunia ini sudah tidak ada lagi orang baik yang mau memaafkan saudaranya.” Subhanallaah

Agama : Pidato Umar Bin Khatab Sesaat Jadi Khalifah

Pidato Abu Bakar dan Umar Bin Khattab

Pidato abu bakar sesaat setelah kaum muslimin berbaiaat kepadanya :

Selepas dibai’at Abu bakar mulai berpidato setelah memuji Allah Pemilik segala pujian

‘Amma ba’du, para hadirin sekalian

sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terabik, maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku.

Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku.

Kejujuran adalah amanan, sementara dusta adalah suatu pengkhiatan.

Orang yang lemah di antara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya Insya Allah.

Sebaliknya siapa yang kuat di antara kalian maka dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya.

Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan timpakan kepada mereka suatu kehinaan, dan tidaklah suatu kekejian terbesar di tengah suatu kaum kecuali adzab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut.

Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan RasulNya.

Tetapi jika aku tidak mematuhi keduanya maka tiada kewajiban taat atas kalian terhadapku.

Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian

Agama : Mengingat Kata Kata Abu Bakar Ash-Shiddiq

Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Khalifah (kepala Negara) pertama kali sesudah wafatnya Rasulullah SAW. Beliau dipilih oleh sahabatnya dengan suara aklamasi. Beliau adalah seorang diantara sepuluh sahabat Nabi yang mendapat jaminan masuk Surga. Abu Bakar bukan saja sahabat Nabi SAW, tetapi sebagai mertua Nabi SAW. Sebab siti Aisyah yang diperistri oleh Nabi adalah anak kandung Abu Bakar.
Diantara kata-kata Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah :

  1. “Aku adalah manusia biasa dan bukanlah manusia terbaik diantara kamu. Apabila kalian lihat perbuatanku benar maka ikutlah aku. Tapi bila kalian lihat perbuatanku salah, maka betulkan-lah” (pidato pelantikan jadi Kholifah)
  2. “Tidak boleh seorang Muslim menghina Muslim yang lain. yang kecil menurut seseorang adalah besar pada sisi Allah.”
  3. “Bila telah masuk waktu shalat, berdirilah kalian menuju ketempat apimu yang sedang menyala dan padamkanlah ia.’
  4. “Semenjak aku masuk Islam, belum pernah kukenyangkan perutku, demi dapat merasakan segarnya beribadah: dan belum pernah pula aku puas minum, karena sangat rindunya aku kepada Ilahi.”
  5. “Orang yang cerdas ialah orang yang taqwa.”
    “Orang yang dungu ialah orang yang durhaka.”
    “Orang yang dusta ialah orang yang khianat.”
    “Orang yang benar ialah orang yang dipercaya.”
  6. “Kami diuji dengan kesusahan, maka kami sabar, tetapi ketika kami diuji dengan kesenangan(kemewahan) hampir-hampir kami tidak sabar.”
  7. “Manusia yang paling celaka ialah raja-raja. kebanyakan mereka ketika berkuasa, bersikap zuhud terhadap harta sendiri tapi tamak kepada orang lain.”

Agama : Sifat-Sifat Nabi Muhammad SAW

Sifat-Sifat Nabi Muhammad SAW

Fizikal Nabi
Telah dikeluarkan oleh Ya'kub bin Sufyan Al-Faswi dari Al-Hasan bin Ali ra. katanya: Pernah aku menanyai pamanku (dari sebelah ibu) Hind bin Abu Halah, dan aku tahu baginda memang sangat pandai mensifatkan perilaku Rasulullah SAW, padahal aku ingin sekali untuk disifatkan kepadaku sesuatu dari sifat beliau yang dapat aku mencontohinya, maka dia berkata: Adalah Rasulullah SAW itu seorang yang agung yang senantiasa diagungkan, wajahnya berseri-seri layak bulan di malam purnamanya, tingginya cukup tidak terialu ketara, juga tidak terlalu pendek, dadanya bidang, rambutnya selalu rapi antara lurus dan bergelombang, dan memanjang hingga ke tepi telinganya, lebat, warnanya hitam, dahinya luas, alisnya lentik halus terpisah di antara keduanya, yang bila baginda marah kelihatannya seperti bercantum, hidungnya mancung, kelihatan memancar cahaya ke atasnya, janggutnya lebat, kedua belah matanya hitam, kedua pipinya lembut dan halus, mulutnya tebal, giginya putih bersih dan jarang-jarang, di dadanya tumbuh bulu-bulu yang halus, tengkuknya memanjang, berbentuk sederhana, berbadan besar lagi tegap, rata antara perutnya dan dadanya, luas dadanya, lebar antara kedua bahunya, tulang belakangnya besar, kulitnya bersih, antara dadanya dan pusatnya dipenuhi oleh bulu-bulu yang halus, pada kedua teteknya dan perutnya bersih dari bulu, sedang pada kedua lengannya dan bahunya dan di atas dadanya berbulu pula, lengannya panjang, telapak tangannya lebar, halus tulangnya, jari telapak kedua tangan dan kakinya tebal berisi daging, panjang ujung jarinya, rongga telapak kakinya tidak menyentuh tanah apabila baginda berjalan, dan telapak kakinya lembut serta licin tidak ada lipatan, tinggi seolah-olah air sedang memancar daripadanya, bila diangkat kakinya diangkatnya dengan lembut (tidak seperti jalannya orang menyombongkan diri), melangkah satu-satu dan perlahan-lahan, langkahnya panjang-panjang seperti orang yang melangkah atas jurang, bila menoleh dengan semua badannya, pandangannya sering ke bumi, kelihatan baginda lebih banyak melihat ke arah bumi daripada melihat ke atas langit, jarang baginda memerhatikan sesuatu dengan terlalu lama, selalu berjalan beriringan dengan sahabat-sahabatnya, selalu memulakan salam kepada siapa yang ditemuinya.

Kebiasaan Nabi
Kataku pula: Sifatkanlah kepadaku mengenai kebiasaannya!Jawab pamanku: Adalah Rasulullah SAW itu kelihatannya seperti orang yang selalu bersedih, senantiasa banyak berfikir, tidak pernah beristirshat panjang, tidak berbicara bila tidak ada keperluan, banyak diamnya, memulakan bicara dan menghabiskannya dengan sepenuh mulutnva, kata-katanya penuh mutiara mauti manikam, satu-satu kalimatnya, tidak berlebih-lebihan atau berkurang-kurangan, lemah lembut tidak terlalu kasar atau menghina diri, senantiasa membesarkan nikmat walaupun kecil, tidak pernah mencela nikmat apa pun atau terlalu memujinya, tiada seorang dapat meredakan marahnya, apabila sesuatu dari kebenaran dihinakan sehingga dia dapat membelanya.

Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa baginda menjadi marah kerana sesuatu urusan dunia atau apa-apa yang bertalian dengannya, tetapi apabila baginda melihat kebenaran itu dihinakan, tiada seorang yang dapat melebihi marahnya, sehingga baginda dapat membela kerananya. Baginda tidak pernah marah untuk dirinya, atau membela sesuatu untuk kepentingan dirinya, bila mengisyarat diisyaratkan dengan semua telapak tangannya, dan bila baginda merasa takjub dibalikkan telapak tangannya, dan bila berbicara dikumpulkan tangannya dengan menumpukan telapak tangannya yang kanan pada ibu jari tangan kirinya, dan bila baginda marah baginda terus berpaling dari arah yang menyebabkan ia marah, dan bila baginda gembira dipejamkan matanya, kebanyakan ketawanya ialah dengan tersenyum, dan bila baginda ketawa, baginda ketawa seperti embun yang dingin.

Berkata Al-Hasan lagi: Semua sifat-sifat ini aku simpan dalam diriku lama juga. Kemudian aku berbicara mengenainya kepada Al-Husain bin Ali, dan aku dapati ianya sudah terlebih dahulu menanyakan pamanku tentang apa yang aku tanyakan itu. Dan dia juga telah menanyakan ayahku (Ali bin Abu Thalib ra.) tentang cara keluar baginda dan masuk baginda, tentang cara duduknya, malah tentang segala sesuatu mengenai Rasulullah SAW itu.

Rumah Nabi
Berkata Al-Hasan ra. lagi: Aku juga pernah menanyakan ayahku tentang masuknya Rasulullah SAW lalu dia menjawab: Masuknya ke dalam rumahnya bila sudah diizinkan khusus baginya, dan apabila baginda berada di dalam rumahnya dibagikan masanya tiga bagian. Satu bagian khusus untuk Allah ta'ala, satu bagian untuk isteri-isterinya, dan satu bagian lagi untuk dirinya sendiri. Kemudian dijadikan bagian untuk dirinya itu terpenuh dengan urusan di antaranya dengan manusia, dihabiskan waktunya itu untuk melayani semua orang yang awam maupun yang khusus, tiada seorang pun dibedakan dari yang lain.
Di antara tabiatnya ketika melayani ummat, baginda selalu memberikan perhatiannya kepada orang-orang yang terutama untuk dididiknya, dilayani mereka menurut kelebihan diri masing-masing dalam agama. Ada yang keperluannya satu ada yang dua, dan ada yang lebih dari itu, maka baginda akan duduk dengan mereka dan melayani semua urusan mereka yang berkaitan dengan diri mereka sendiri dan kepentingan ummat secara umum, coba menunjuki mereka apa yang perlu dan memberitahu mereka apa yang patut dilakukan untuk kepentingan semua orang dengan mengingatkan pula: "Hendaklah siapa yang hadir menyampaikan kepada siapa yang tidak hadir. Jangan lupa menyampaikan kepadaku keperluan orang yang tidak dapat menyampaikannya sendiri, sebab sesiapa yang menyampaikan keperluan orang yang tidak dapat menyampaikan keperluannya sendiri kepada seorang penguasa, niscaya Allah SWT akan menetapkan kedua tumitnya di hari kiamat", tiada disebutkan di situ hanya hal-hal yang seumpama itu saja.
Baginda tidak menerima dari bicara yang lain kecuali sesuatu untuk maslahat ummatnya. Mereka datang kepadanya sebagai orang-orang yang berziarah, namun mereka tiada meninggalkan tempat melainkan dengan berisi. Dalam riwayat lain mereka tiada berpisah melainkan sesudah mengumpul banyak faedah, dan mereka keluar dari majelisnya sebagai orang yang ahli dalam hal-ihwal agamanya.

Luaran Nabi
Berkata Al-Hasan r.a. lagi: Kemudian saya bertanya tentang keadaannya di luar, dan apa yang dibuatnya? Jawabnya: Adalah Rasulullah SAW ketika di luar, senantiasa mengunci lidahnya, kecuali jika memang ada kepentingan untuk ummatnya. Baginda selalu beramah-tamah kepada mereka, dan tidak kasar dalam bicaranya. Baginda senantiasa memuliakan ketua setiap suku dan kaum dan meletakkan masing-masing di tempatnya yang layak. Kadang-kadang baginda mengingatkan orang ramai, tetapi baginda senantiasa menjaga hati mereka agar tidak dinampakkan pada mereka selain mukanya yang manis dan akhlaknya yang mulia. Baginda selalu menanyakan sahabat-sahabatnya bila mereka tidak datang, dan selalu bertanyakan berita orang ramai dan apa yang ditanggunginya. Mana yang baik dipuji dan dianjurkan, dan mana yang buruk dicela dan dicegahkan.
Baginda senantiasa bersikap pertengahan dalam segala perkara, tidak banyak membantah, tidak pernah lalai supaya mereka juga tidak suka lalai atau menyeleweng, semua perkaranya baik dan terjaga, tidak pernah meremehkan atau menyeleweng dari kebenaran, orang-orang yang senantiasa mendampinginya ialah orang-orang paling baik kelakuannya, yang dipandang utama di sampingnya, yang paling banyak dapat memberi nasihat, yang paling tinggi kedudukannya, yang paling bersedia untuk berkorban dan membantu dalam apa keadaan sekalipun.

Majlis Nabi
Berkata Al-Hasan ra. lagi: Saya lalu bertanya pula tentang majelis Nabi SAW dan bagaimana caranya ? Jawabnya: Bahwa Rasulullah SAW tidak duduk dalam sesuatu majelis, atau bangun daripadanya, melainkan baginda berzikir kepada Allah SWT baginda tidak pernah memilih tempat yang tertentu, dan melarang orang meminta ditempatkan di suatu tempat yang tertentu. Apabila baginda sampai kepada sesuatu tempat, di situlah baginda duduk sehingga selesai majelis itu dan baginda menyuruh membuat seperti itu. Bila berhadapan dengan orang ramai diberikan pandangannya kepada semua orang dengan sama rata, sehingga orang-orang yang berada di majelisnya itu merasa tiada seorang pun yang diberikan penghormatan lebih darinya. Bila ada orang yang datang kepadanya kerana sesuatu keperluan, atau sesuatu masliahat, baginda terus melayaninya dengan penuh kesabaran hinggalah orang itu bangun dan kembali.
Baginda tidak pemah menghampakan orang yang meminta daripadanya sesuatu keperluan, jika ada diberikan kepadanya, dan jika tidak ada dijawabnya dengan kata-kata yang tidak mengecewakan hatinya. Budipekertinya sangat baik, dan perilakunya sungguh bijak. Baginda dianggap semua orang seperti ayah, dan mereka dipandang di sisinya semuanya sama dalam hal kebenaran, tidak berat sebelah. Majelisnya semuanya ramah-tamah, segan-silu, sabar menunggu, amanah, tidak pemah terdengar suara yang tinggi, tidak dibuat padanya segala yang dilarangi, tidak disebut yang jijik dan buruk, semua orang sama kecuali dengan kelebihan taqwa, semuanya merendah diri, yang tua dihormati yang muda, dan yang muda dirahmati yang tua, yang perlu selalu diutamakan, yang asing selalu didahulukan.

Berkata Al-Hasan ra. lagi: Saya pun lalu menanyakan tentang kelakuan Rasulullah SAW pada orang-orang yang selalu duduk-duduk bersama-sama dengannya? Jawabnya: Adalah Rasulullah SAW selalu periang orangnya, pekertinya mudah dilayan, seialu berlemah-lembut, tidak keras atau bengis, tidak kasar atau suka berteriak-teriak, kata-katanya tidak kotor, tidak banyak bergurau atau beromong kosong segera melupakan apa yang tiada disukainya, tidak pernah mengecewakan orang yang berharap kepadanya, tidak suka menjadikan orang berputus asa. Sangat jelas dalam perilakunya tiga perkara yang berikut. Baginda tidak suka mencela orang dan memburukkannya. Baginda tidak suka mencari-cari keaiban orang dan tidak berbicara mengenai seseorang kecuali yang mendatangkan faedah dan menghasilkan pahala.
Apabila baginda berbicara, semua orang yang berada dalam majelisnya memperhatikannya dengan tekun seolah-olah burung sedang tertengger di atas kepala mereka. Bila baginda berhenti berbicara, mereka baru mula berbicara, dan bila dia berbicara pula, semua mereka berdiam seribu basa. Mereka tidak pernah bertengkar di hadapannya. Baginda tertawa bila dilihatnya mereka tertawa, dan baginda merasa takjub bila mereka merasa takjub. Baginda selalu bersabar bila didatangi orang badwi yang seringkali bersifat kasar dan suka mendesak ketika meminta sesuatu daripadanya tanpa mahu mengalah atau menunggu, sehingga terkadang para sahabatnya merasa jengkel dan kurang senang, tetapi baginda tetap menyabarkan mereka dengan berkata: "Jika kamu dapati seseorang yang perlu datang, hendaklah kamu menolongnya dan jangan menghardiknya!". Baginda juga tidak mengharapkan pujian daripada siapa yang ditolongnya, dan kalau mereka mau memujinya pun, baginda tidak menggalakkan untuk berbuat begitu. Baginda tidak pernah memotong bicara sesiapa pun sehingga orang itu habis berbicara, lalu barulah baginda berbicara, atau baginda menjauh dari tempat itu.

diambil dari : http://azharjaafar.blogspot.com/2008/08/sifat-sifat-nabi-muhammad-saw.html

Selasa, 08 November 2011

Agama : Kisah Bu Sumi Qurban

QURBAN BU SUMI

Setelah melayani pembeli, saya
melihat seorang ibu sdg memperhatikan dagangan kami,
Dilihat dari penampilannya sepertinya gak akan beli.Namun saya coba hampiri dan menawarkan. “Silahkan bu. ibu itu menunjuk, “Kalau yg itu berapa bang?” Ibu itu menunjuk hewan yg paling murah.

Kalau yg itu harganya 600rb bu, jawab saya. Harga pasnya berapa?, 500rb deh. harga segitu untung saya kecil, tapi biarlah.. “Uang saya Cuma ada 450rb, boleh gak”. Waduh..saya bingung, karena itu harga modal kami, akhirnya saya berembug. “Biarlah..”

Sayapun mengantar hewan ibu,
Ketika sampai di rumah ibu tersebut. Astaghfirullaah.. Allahu Akbar, terasa mengigil seluruh badan demi melihat keadaan rumah ibu tersebut.

Ibu itu hanya tinggal bertiga dgn ibu dan satu orang anaknya di rumah gubuk berlantai tanah. Saya tidak melihat tempat tidur/ kasur, yang ada hanya dipan kayu beralas tikar lusuh.

Diatas dipan sdg tertidur seorang nenek tua kurus. “Mak..bangun mak, nih liat Sumi bawa apa", perempuan tua itu terbangun. “ Mak Sumi udah beliin kambing buat emak qurban, ntar kita bawa ke Masjid ya mak.

Orang tua itu kaget namun bahagia, sambil mengelus-elus kambing orang tua itu berucap, Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga emak qurban.

“Nih bang duitnya, maaf ya kalau saya nawarnya ke murahan, saya hanya kuli cuci, saya sengaja kumpulkan uang untuk beli kambing yg mau saya
niatkan buat qurban ibu saya.

duh GUSTI...Ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hambaMU yg satu ini. HambaMU yg Miskin Harta
tapi dia kaya Iman. Seperti bergetar bumi ini setelah mendengar niat dari ibu ini.

“Bang nih ongkos bajajnya.!, panggil si Ibu, “sudah bu, biar ongkos bajaj saya yg bayar. Saya cepat pergi sblm ibu itu tahu kalau mata ini sudah basah krn tak sanggup mendapat teguran dari Allah yg sudah mempertemukan dgn hambaNYA yg dgn kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya...

"Semoga bermanfaat....