Senin, 03 Agustus 2009

Agama : Cerpen GUS JAKFAR

GUS JAKFAR
Cerita Pendek : A Mustofa Bisri
Kompas - 6/23/2002

Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," ceritaKang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedangmembicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu, "Saya sendiri tidak pahamapa maksudnya."

"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawaiPemda yang sering mengikuti pengajian Subuh Kiai Saleh, "Matanya itulho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisamelihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini anaknyapenjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu.Sebelum dilamar orang sabrang, kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu GusJakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yangngelamar ya?!'. Tak lama kemudian orang sabrang itu datangmelamarnya."

"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet, "kalian kanmendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IVitu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudahcapek menghirup nafas ya?!' Lho, ternyata besoknya Kang Kandarmeninggal."

"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut UstadzKamil, "nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri KangKandar."

Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yangdari tadi sudah kepingin ikut bicara, "waktu itu, tak ada hujan takada angin, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah saku sampeyan kokmondol-mondol, dapat proyek besar ya?!' Padahal saat itu saku sayajustru sedang kempes. Dan percaya atau tidak, esok harinya, sayamemenangkan tender yang diselenggarakan pemda tingkat propinsi."

Apa yang begitu itu yang disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yangsejak tadi hanya asyik mendengarkan

"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil, "makanya saya justru takutketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiransaya terganggu."
***
MAKA ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger;terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengajitapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin, yang selamaini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilangberminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubahmenjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagimembaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yangberbau ramalan. Ringkas kata dia benar-benar kehilangankeistimewaannya.

"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu,"komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan, "wah, sayang sekali! Apagerangan yang terjadi pada beliau?"

"Kemana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata LikSalamun, "kalau saja kita tahu kemana beliau, mungkin kita akanmengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudianberubah."

"Tapi bagaimana pun, ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil, "palingtidak kini, kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasadeg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulusmencari ilmu. Maka jika kita ingin mengetahui apa yang terjadidengan gus kita ini, hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang,sebaiknya kita langsung saja menemui beliau."
Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jumat sehabiswiridan salat Isya, dimana Gus Jakfar prei, tidak mengajar,rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampirsemua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauhmelebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekatberupa keseganan, was-was, dan rasa takut.

Setelah ngobrol kesana-kemari akhirnya Ustadz Kamil berterus terangmengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan, "Gus, di sampingsilaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikitkeperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahulatar belakang perubahan sikap sampeyan."
"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuharti, "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasatidak berubah."
"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukasMas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak maulagi membaca bahkan diminta pun tak mau."
"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi diatidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama, baru setelahmenyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan: "Ceritanya panjang."Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.
"Kalian ingat, ketika saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfarbertanya, membuat kami yakin dia benar-benar siap untuk bercerita,maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemuayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal disebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar200 km ke arah selatan. Nama Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpiitu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianyasudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliaupun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing."
"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginansaya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada wali Tawakkalitu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya punpergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niatbilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata ketika sampai disana,hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama KiaiTawakkal. Baru setelah seharian melacak kesana-kemari, ada seorangtua yang memberi petunjuk. 'Cobalah nakmas ikuti jalan setapakdisana itu,' katanya, 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuahsungai kecil, terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang,nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah kemungkinanbesar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubukyang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua sepertiyang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkaliitulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?' 'Kiai Tawakkal.' 'Ya,kiai Tawakal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.' Saya punmengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukansekelompok rumah gubuk dari bambu. Dan betul, di gubuk bambu yangterletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias MbahJogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua.Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudahmerupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilanKiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sebagai orang tua.Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indahmemancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semuakalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudianmelanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut danterganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang, ada tanda yangjelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yangcukup besar berbunyi 'Ahli neraka'. Astaghfirullah! Belum pernahselama ini saya melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidakmempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorangyang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yanglain, disurat sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tandaitu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihattanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila."

Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipunsecara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudahberubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkankeganjilan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal,saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang mencurigakan. Kegiatanrutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiaiyang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnatseperti dhuha, tahajjud, witir, dan sebagainya, mengajar kitab-kitab(umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu;dan semisalnya. Kalau pun beliau keluar biasanya untuk memenuhiundangan hajatan atau-dan ini sangat jarang sekali- mengisipengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malamtertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakankegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacamlelana brata kata mereka."
"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', sayamendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti KiaiTawakkal keluar. Saya pikir inilah kesempatan untuk mendapatkanjawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya."
"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat kiai keluardengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidakmungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya.Dengan hati-hati, saya pun membuntutinya dari belakang; tidakterlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapakhingga ke jalan desa, kiai terus berjalan dengan langkah yang tetaptegap. Akan kemana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacamlelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hatimengikutinya, khawatir tiba-tiba kiai menoleh ke belakang."
"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketikakemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya takkelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuhpengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong, sayamendekati warung terpencil dengan penerangn petromak itu. Dua orangwanita-yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua-dengan dandanan yang menor, sibuk melayani pelanggan sambil menebartawa genit kesana-kemari. Tidak mungkin kiai mampir ke warung ini,pikir saya; ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yangsuasananya saja mengesankan kemesuman ini. 'Mas Jakfar!' tiba-tibasaya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya,memanggil-manggil nama saya. Masya Allah, saya hampir-hampir tidakmempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, matasaya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah.Dengan kikuk dan pikiran tak karuwan, saya pun terpaksa masuk danmenghampiri kiai saya yang duduk santai di pojok. Warung penuhdengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyumpenuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang di sampingnya untukbergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!'. Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, kiai memperkenalkan saya. Katanya: 'Inikawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Caripengalaman katanya.' Mereka yang duduknya dekat, serta mertamengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementarayang jauh, melambaikan tangan."
"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalammimpi, ketika tiba-tiba saya dengar kiai menawari, 'Minum kopi ya?'Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, yu!' kata kiaikemudian kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekatsaya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggaanwarung ini!' Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asalmengangguk."
"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'nya danmembiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir,bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dandihormati para kiai lain, bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yangdisebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yangsengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapatjawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dankarenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas dikeningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap pandangan saya terhadapbeliau berubah. 'Mas, sudah larut malam," tiba-tiba suara KiaiTawakkal membuyarkan lamunan saya, 'kita pulang, yuk!' Dan tanpamenunggu jawaban saya, kiai membayari minuman dan makanan kami,berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbaudicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewatikebun sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadikami lalui, 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!'katanya."
"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampaidi sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yangmenggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai,seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliaumenoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliaumelambai, 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya punkemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai diseberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohonrandu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpamenengok saya yang sibuk berpakaian, 'kita masih punya waktu, insyaAllah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.' Setelah saya ikutduduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, kiai berkatamengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kau cari?Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca dikening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yangmahir melihat tanda-tanda, menjadi ragu terhadap kemahiranmusendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengarrentetan pertanyaan-pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Sayatidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terusberbicara. 'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karenakau melihat tanda 'Ahli neraka' di kening saya. Kau pun tidak perlubersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memangpantas masuk neraka. Karena pertama, apa yang kau lihat belum tentumerupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kantahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Makaterserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke sorga atauke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke sorga atau neraka,sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kauberani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kauberani mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandangsebelah mata itu, pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kitaingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat denganNya,tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa?Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' Akuhanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambilmenepuk-nepuk punggung saya, 'Kau harus lebih berhati-hati bilamendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerahtidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan.Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah.Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda denganmereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabburdan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dankelebihan itu diakui oleh banyak pihak.' Malam itu saya benar-benarmerasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selamaini sudah saya ketahui. 'Ayo, kita pulang!' tiba-tiba kiaibangkit, 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kauboleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudahmendapat banyak dari kiai luar biasa ini."
"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah taktampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuhberkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Sepertiorang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemudan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan KiaiTawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun darimereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelahsembahyang, seseorang menghampiri saya, 'Apakah sampeyan Jakfar?'tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuahbungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik sayasendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.' 'Beliaudimana?' tanya saya buru-buru. 'Mana saya tahu?' jawabnya, 'MbahJogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu darimana beliau datang dan kemana beliau pergi.' Begitulah ceritanya.Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil merubah sikapsaya itu tetap merupakan misteri."
Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadimendengarkan, masih diam tercenung, sampai Gus Jakfar kembalimenawarkan suguhannya. ***
Rembang, Mei 2002

dari : http://irdy74.multiply.com/recipes/item/3

Tidak ada komentar: